Kamis, 11 Juni 2009

Problematika Pajak dan Zakat di Indonesia

Pajak dan Zakat merupakan instrumen negara yang diharapkan dapat membantu pertumbuhan ekonomi dengan baik. Negara yang masih menjunjung tinggi nilai – nilai Islam dengan landasan Al-qur’an dan Al-hadits sangat tepat sebagai wadah untuk menerapkannya. Lain halnya dengan negara – negara barat, pemikiran sekuler mereka akan menjadi alasan mengapa kedua instrumen ini tidak dapat disandingkan.

Walaupun demikian, salah satu sistem ekonomi yang mereka terapkan melalui pajak tanpa zakat merupakan sistem yang dianut oleh para pemimpin Islam sejak zaman Rasulullah, Khlafaur Rasyidin, Tabi,in dan para Tabi’ tabi’in disamping mengedepankan sistem zakat. Tetapi, mengapa kondisi mereka malah lebih maju daripada negara – negara yang menerapkan sistem pajak dan zakat? Apakah sistem zakat merupakan penghalang bagi pajak, yang tidak mengkonsentrasikan pendapatan pada satu lembaga keuangan? Dan bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia untuk mensiasitinya sejauh masalah yang menimpa Negara ini?

Secara rasional, Negara yang menerapkan sistem pajak dan zakat sekaligus akan memperoleh pendapatan surplus daripada negara yang hanya menerapkan sistem pajak saja. Hal ini dilihat dari pemungutannya yang bersifat ganda (double). Tetapi, jarang sekali negara yang memliki masyarakat yang berkeyakinan pada satu keyakinan secara universal bahkan kalau boleh dikatakan tidak ada. Maka kondisi semacam inilah yang menyulitkan negara –negara yang bukan atas azas Islam menerapkan langsung kedua sistem ini dalam satu kedaulatan.

Dari sudut pandang umum, Indonesia termasuk salah satu negara yang tidak berazaskan Islam melainkan menganut azas pancasila. Tetapi, keberadaan Islam di Indonesia merupakan tolak ukur refleksi roh Islam sehingga dapat disimpulkan esensi dari jiwa, kepribadian, pandangan hidup bagian terbesar bangsa Indonesia yang notabanenya memeluk agama Islam merupakan wujud dari sebuah pengamalan.

            Merujuk pada UU pajak dan zakat  38 Tahun 1999 dan 17 thn 2000 tentang Pengelolaan Zakat merupakan bentuk pengelolaan yang efisiensi dan afektifitas untuk mengimplamentasikan kesejahteraan dan keadilan.

            Menurut hemat penulis, pemungutan pajak dan zakat dalam UU no 38 Tahun 1999 dan 17 tahun 2000 seakan memberi dampak negatif terhadap kalangan minoritas yang berada dijurang kemiskinan khususnya pada zakat. Alasan ini menggambarkan sebuah pendapat Ulil Abshar abdalla yang mengatakan bahwa  semangat zakat hanya sebagai ritualisasi berlebihan sehingga kedudukannya sebagai ritual biasa seperti shalat dan haji, tanpa di landasi ruh untuk memberdayakan orang – orang yang tertindas. Bukan tidak didasari alasan, pembayaran pajak yang dikalkulasikan oleh pemerintah atas zakat yang dikeluarkan merupakan interpretasi yang menganak emaskan satu pihak karena wajib pajak yang tidak wajib membayar zakat mengeluarkan sebagian penghasilannya menurut ketentuan hukum pajak.

            Untuk merealisasikan pendapat Masdar F Mas’udi bahwa kedudukan zakat sama dengan pajak  di butuhkan suatu instansi untuk mengelola setiap sumber pajak dan zakat dengan seadil – adilnya tanpa kekerasan walaupun terdapat unsur paksaan didalamnya. Keberadaan zakat dalam negara Indonesia akan dapat memicu solidaritas dan kesadaran masyarakat untuk melaksanakan kewajban yang awalnya merupakan perintah Allah. Selain itu, zakat juga diharapkan dapat memberikan kontribusi atas pajak sebagai kewajiban warga negara yang dilegitimasi oleh pemerintah kedalam undang – undang. Atas dasar kesejahteraan umat melalui redistribution of income maka persamaan zakat dan pajak bisa dibenarkan walaupun secara kontraprestatif zakat untuk kebahagian di dunia dan akhirat sedangkan pajak hanya di dunia yang sama – sama dirasakan secara tidak langsung.

Interpretasi anak emas atau lebih riil dengan istilah kesenjangan ( gap ) menunujukan pengeluaran pemerintah yang tidak merata terhadap golongan – golongan yang berhak,dapat disimpulkan dari hasil pembayaran pajak dan zakat secara UU no 38 tahun 1999 dan 17 tahun 2000  ( yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang didirikan atau disahkan oleh Pemerintah) bukan merupakan objek pajak bagi si penerima yang  bukan pemeluk Islam serta zakat atas penghasilan wajib pajak pemeluk Islam dikurangkan dari penghsilan kena pajak.

            Denagan adanya ketetapan ini, maka kemiskinan semakin merajalela di negeri ini karena tidak adanya solusi kedua dalam kebijakan – kebijakan yang telah dikeluarkan yaitu peningkatan kesejahteraan dangan ruh keadialan sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

            Sebagai negara yang memiliki roh Islam yang mengikuti Sunnatain, hendaklah mengambil Ibrah dari yang dipraktekaan oleh Rasulullah di masa beliau menjadi seorang pemimpin. Beliau tidak pernah membedakan – bedakan satu kaum dengan kaum yang lain, sehinga pada suatu saat orang yahudi pernah datang ke rumahnya dengan berpakaian kumuh untuk meminta uluran tangan Beliau. Tapi pada saat itu, Beliau tidak memiliki sesuatu yang dapat membantu orang yahudi tersebut, kemudian Rasul memerintahkannya untuk pergi ke rumah anaknya Fatimah Az-Zahra, yang akhirnya orang yahudi tersebut mendapatkan apa yang ia butuhkan dari anak seorang Rasulullah.

            Dari kisah singkat Rasulullah ini mencerminkan sifat kearifan Beliau yang tidak memandang perbedaan. Jika pemerintah menerapkan praktek ini bukan tidak mungkin nilai –nilai keadilan akan menjadi prioritas utama dalam membangun masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera.

            Keadilan ini mungkin dapat diimplamentasikan secara selektivitas dan simultan. Selektivitas dan simultan dalam artian kemampuan mendatangkan keselarasan dalam masyarakat yang diharapkan tidak bertolak belakang dengan keputusan yang telah ada dan dilakukan dalam waktu yang sama.

            Dalam pajak dan zakat seharusnya dikakukan juga sistem timbal balik yang merupakan unsur utama menghilangkan kecemburuan sosil. Pengeluaran pajak yang tidak memandang perbedaan, seharusnya direalisasikan juga dalam pengeluaaran zakat. Zakat yang dibayar oleh ummat Islam adalah sebagai pengurang dalam pembayaran pajak, sedangkan untuk hak yang mereka peroleh dari penyaluran hasil pajak dan zakat, yang sebelumnya pajak juga dipungut dari non muslim yang hanya mendapat bagian dari pajak saja. Hal ini tentu menjauhkan negara ini dari ruh keadilan dan untuk mewujudkan keadilan tersebut hasil dari zakat juga harus diberikan kepada mereka dengan catatan dari kalangan fakir dan miskin.

            Menegaskan Pendapat penulis tentang UU Pajak dan Zakat no 38/1999 17/2000, Al-Maududi seorang ulama yang berasal dari India mengatakan salah satu kewajiban utama bagi pemerintah adalah memelihara semua orang miskin dan orang yang tak berdaya. Nah, disinilah perlunya peran pemerintah dalam setiap pemungutannya untuk memperlancar pembayaran atas kewajiban warganya melalui pajak dan zakat.

            Jika menela’ah dari kisah Rasul yang telah dikemukakan diatas, hubungannya dengan pembagian zakat terhadap non muslim yang fakir dan miskin dapat dikatakan hanya sebagai shadaqah yang berimplikasi tentang pemberian sesuatu diluar zakat atau memberikan benda tanpa ada tukaran dan bayaran.

Mengutip dari pendapat Mawardi yang mengatakan sedekah itu zakat dan zakat itu sedekah sangatlah tepat disuarakan apabila bertujuan untuk menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan ummat dengan tidak memandang bulu seperti yang diteladani Rasulullah SAW.  Walaupn pemahaman umum muslim atau ulama fiqh Indonesia yang sangat membedakan zakat dan shadaqah bukan berarti tidak ada perspektif lain tentang i’tikad yang terkandung didalamnya   saperti yang tekandung dalam Surat at-Taubah ayat 103 "Ambillah dari harta mereka shadaqah (zakat)." Mengutip pendapat Qardhawi, kata shadaqah dalam ayat ini dapat dismpulkan sedekah tidak hanya berarti pemberian sesuatu kepada pengemis dan peminta – minta. Tetapi, pendapat ini tidak dikemukakan beliau dengan dalil yang jelas dan logis untuk lafal ini,mengingat bagaimana sebenarnya pengertian satu kata dalam bahasa arab pada zaman qur’an turun. Kata shadaqah sesungguhnya berasal dari kata shidq yang berarti benar.

Seorang ulama besar yang lebih dikenal dengan Ibn Arabi memiliki pendapat yang sangat berharga tentang mengapa zakat dinamakan shadaqah. Kata Shadaqah yang berasal dari kata shidq yaitu benar dalam hubungan dengan sejalannya perbuatan dan ucapan serta keyakinan. Dan dari setiap huruf beliau memaknainya “terwujudnya sesuatu oleh sesuatu atau membantu terwujudnya sesuatu itu.

 Menurut penulis, shadaqah adalah ungkapan kejujuran atas sikap seserang  dalam mestabilkan kesejahteraan orang – orang disekelilingnya serta mengigginkan masyarakat yang jauh dari kemiskinan dengan mengaplikasikan nilai - nilai keadilan sehingga tidak menimbulkan persepsi negatif yang beranggapan bahwa pmerintah hanya memberikan kesejahteraan terhadap satu pihak saja, disamping itu akan mewujudkan kelancaran atas pendapatan pemerintah melalui sistem fiskal ini.

Selain itu, disamping pendapat Ibnu Arabi, Direktur pos keadilan ummat Naharus Surur berpendapat Shodaqoh adalah ungkapan kejujuran (shidq) iman seseorang. Oleh karena itu Allah swt menggabungkan antara orang yang memberi harta dijalan Allah dengan orang yang membenarkan adanya pahala yang terbaik. Antara yang bakhil dengan orang yang mendustakan. Disebutkan dalam surat Al-Lail ayat 5-10 artinya: "Adapun orang yang memberikan (hartanya dijalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami menyiapkan baginya (jalan) yang sukar". Oleh: Antonioli Banderas Pjt


Tidak ada komentar:

Posting Komentar