Selasa, 16 Juni 2009

Cerpen Lucu Aristoteles

Aristoteles, katanya dengan bangga. “Nama saya Aristoteles”

Kalimat itulah yang selalu diulang-ulanginya dengan bangga dan sedikit membusungkan dada, ketika orang lain menanyakan namanya. Orangnya berperawakan kecil. Tingginya hanya sekitar 160-an senti. Kurus. Tidak ada yang menonjol dari dirinya. Rambutnya lurus disisir kesamping dengan belahan di sebelah kiri. Kacamata minus 3 silindris bertengger di matanya. Alisnya tebal setebal bibirnya, Tulang pipinya agak menonjol. Hidungnya tidak terlalu mancung. Hanya matanya yang kelihatan lain dari dirinya: bersinar dan menunjukkan kepercayaan diri.

“Siapa namanya, Pak ?” Kata perawat dibalik meja pendaftaran.
“Aristoteles, Mbak” jawabnya. Perawat itu meliriknya sedikit. Aneh.
“Aristoteles apa, nggak ada nama belakangnya ?”
“Aristoteles saja, Mbak. Maksud saya Aristoteles tanpa nama belakang”.

Dia lahir sebagai anak pertama dari 5 bersaudara. Usianya 18 tahun dan baru lulus SMA. Ayahnya mendesaknya untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi walaupun sebenarnya dia tidak berminat untuk kuliah. Yang dia inginkan hanya bekerja dan kebetulan temannya menawarinya untuk menjaga bengkel. Bengkel milik ayah temannya. Tapi desakan ayahnya akhirnya diikutinya juga. Dia ikut SPMB tetapi tidak tahu jurusan apa yang akan diambilnya. Dia suka kerjaan mekanik mengutak-atik motor, tetapi dia tidak berminat masuk jurusan teknik. Susah, katanya. Dan nilai fisika dan matematikanya di SMA juga pas-pasan.

“Ini kok nama belakangnya dikosongin, Mas ?” kata petugas pendaftaran SPMB. Seorang perempuan setengah baya berkacamata.
“Saya nggak punya nama belakang, Bu”
“Jadi cuma Aristoteles saja?” tanya petugas itu lagi.
“Iya, Bu. Maksud saya tanpa ’saja’. Cuma Aristoteles tanpa nama belakang.
Aneh. Batin si ibu.

Ayahnya hanya seorang pedagang yang berjualan pakaian di pasar. Ibunya membuka warung kelontong di depan rumahnya. Rumahnya di Cilacap. Ayahnya bukan orang Cilacap, tapi dari Salatiga. Ibunya orang Karanganyar. Ayah dan ibunya menikah di Yogyakarta dan kemudian pindah ke Cilacap. Mereka 5 bersaudara, empat laki-laki dan satu perempuan. Adiknya nomor dua laki-laki bernama Karl Marx, masih SMA kelas 2. Adiknya nomor tiga namanya Soekarno, sekolah di SMP kelas 1. Yang berikutnya perempuan, namanya Magdalena dan masih kelas 5 SD. Yang bungsu laki-laki sekarang di kelas 2 SD, namanya Maurice Massau Ponty.

“Yang ini diisi alamat rumah atau alamat sekarang, Mas?” Kata seorang perempuan yang sedang berdiri disampingnya. Sama-sama mendaftar juga.
“Eng…alamat sekarang, Mbak. Kata ibu yang didalam alamat surat menyurat”. Katanya, agak ragu-ragu.
“Oh..terima kasih, Mas”. kata perempuan itu lagi.
“Sama-sama, Mbak. Ngomong-ngomong Mbak ngambil jurusan apa?”
“Jurusan Perikanan di IPB. Kalau Mas sendiri ?”
“Nggak tau Mbak, lagi bingung”, katanya. “Eh..Mbak namanya siapa ? dari tadi belum kenalan”.
“Yuliani”. Jawab perempuan itu.
“Aristoteles. Nama saya Aristoteles”. Jawabnya dengan bangga.


Dia tidak tahu mengapa ayahnya memberi namanya Aristoteles. Juga nama adik-adiknya. Yang dia tahu ayahnya hanyalah lulusan SMA. Di rumahnya yang kecil di Cilacap, banyak tersimpan buku-buku sejarah, khususnya cerita-cerita tentang pahlawan-pahlawan masa lalu. Ayahnya memang pencinta sejarah. Yang dia baca dari buku-buku ayahnya dan apa yang didapatnya di sekolah, Aristoteles adalah seorang filsuf Yunani yang hidup sekita 500 tahun sebelum masehi.

“Kamu tahu mengapa ayahmu menamakanmu Aristoteles ?” Kata guru sejarah SMA-nya suatu hari.
“Nggak tahu, Bu”.
“Kamu tahu siapa Aristoteles yang sebenarnya ?” tanya gurunya lagi.
“Tahu, Bu”. Jawabnya cepat. “Yang saya baca, dia itu seorang filsuf terkenal Yunani kuno yang hidup sekitar 500 tahun sebelum masehi”.
“Kamu tahu apa saja yang dituliskan Aristoteles?”
“Nggak, Bu” “Saya belum pernah baca bukunya”.
“Saya ada ringkasan pemikirannya di rumah. Saya bisa pinjamkan samamu. Tapi harus dibaca, ya..!”
“Makasih, Bu”

Dia tidak mengerti apa yang dituliskan Aristoteles. Menurutnya Aristoteles itu membingungkan. Bikin sesuatu yang mudah jadi rumit. Dia bingung ketika membaca etika Aristoteles, sama bingungnya ketika membaca logikanya. Menurutnya, yang dibicarakan Aristoteles sebenarnya sudah dijalankannya sehari-hari. Tapi Aristoteles, sang filsuf itu, membuatnya jadi lebih rumit lagi. Aristoteles yang dulu ternyata berbeda dengan Aristoteles yang sekarang.

“Namanya siapa, dek ?” Tanya seorang ibu di stasiun kereta api.
“Aristoteles, Bu”. Jawabnya. “Nama saya Aristoteles”.

Jumat, 12 Juni 2009

TRANFORMASI PONDOK PESANTREN SALAF KE MODERN

Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah cukup tua di Indonesia। Karena keberadaannya sudah didapati sejak zaman kolonial Belanda, dan pondok pesantren merupakan hasil dari kebudayaan bangsa Indonesia sendiri.
Pondok pesantren yang dahulu dikenal hanya mepelajari ilmu-ilmu keislaman klasik, dengan nuansa yang sederhana bahkan sering diidentikan dengan pedesaan tidak sepenuhnya benar. Hal ini dijelaskan dalam bukunya Nurcholish Madjid, ia menulis:
Dari segi sikap terhadap tradisi pesantren di bedakan kepada jenis pesantren salafi dan khalafi. Jenis salafi merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Di pesantren ini pengajaran pengetahuan umum tidak diberikan. Tradisi masa lalu sangat di pertahankan. Pemakaian sistem madrasah hanya untuk memudahkan sistem sorogan seperti yang dilakukan di lembaga-lembaga pengajaran bentuk lama. Pada umumnya pesantren dalam bentuk inilah yang menggunakan sistem sorogan dan weton.[1]
Pesantren khalafi tampaknya menerima hal-hal baru yang dinilai baik di samping tetap mempertahankan tradisi lama yang baik, pesantren sejenis ini mengajarkan pelajaran umum di madrasah dengan sistim klasikal dan membuka sekolah sekolah umum di lingkungan pesantren. Tetapi pengajaran kitab Islam klasik masih tetap dipertahankan. Pesantren dalam bentuk ini di klasifikasikan sebagai pesantren modern dimana tradisi salaf ditinggalkan sama sekali.[2]
Pada dasarnya apabila dilihat dari kutipan buku yang ditulis oleh Nurcholish Madjid di atas, pondok pesantren awalnya hanyalah satu yaitu salaf, tetapi seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi[3] ada dari sebagian pondok pesantren salaf merasa perlu untuk mengubah sistim pendidikannya agar lebih fleksibel dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, pada akhirnya terbentuklah pondok pesantren modern.
Pondok pesantren modern lebih berkembang dalam bidang ilmu-ilmu umum ketimbang pondok pesantren salaf karena pondok pesantren modern mengembangkan ilmu-ilmu baru seperti fisika, kimia, biologi dan sebagainya yang tidak dipelajari di pondok pesantren salaf, dan sistim yang digunakan pun menggunakan sistim modern, dalam hal ini menggunakan sistim yang biasa digunakan sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMU dan sebagainya, sebagai contoh akan dijelaskan pada paragraf berikutnya. Dan apabila sistim klasik sudah tidak relevan lagi untuk dipakai maka akan dibuang.[4]
Manajemen yang digunakan pondok pesantren modern tersistimatisasi dengan baik, entah itu dari pembangunan pesantren, kurikulum, bimbingan potensi santri sampai kepada pengelolaan keuangannya.[5] Dalam hal ini Nurcholis Madjid mengambil contoh pondok modern Gontor yang merupakan pondok pesantren modern tertua di Indonesia yang didirikan pada tahun 1226 M. di Ponorogo.[6] Gontor mempunyai banyak cabang di seluruh Indonesia dan alumninya pun sudah banyak yang sukses dan menyebar kemana-mana bahkan sampai keluar negri dan ini tidak terlepas dari sistim atau manajemen kelembagaan yang dipakai oleh Gontor sendiri yaitu Gontor mencoba untuk menghilangkan gambaran bahwa pondok pesantren hanyalah dimiliki oleh satu orang saja yaitu kyai, dan ia mempunyai hak paten atas pondok pesantren serta segala macam keputusan yang berhubungan dengan pondok pesantren harus berasal dari kyai. Gontor mencoba mengubah hal di atas dengan cara menghibahkan pondok kepada panitia musyawarah sehingga kedudukan pesantren tidak lagi dikuasai oleh kyai tetapi seluruh penghuni pondok dan masyarakat umum. Serta yang bertugas untuk mengangkat kyai adalah panitia musyawarah sehingga yang membuat keputusan tidak hanya dari kiyai saja melainkan panitia musyawarah, penghuni pondok serta masyarakat umum. Lululsan Gontor sama dengan lulusan dari sekolah umum seperti SMP atau SMU. Sehingga lulusan gontor bisa meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi dan Gontor pun telah bekerja sama dengan perguruan tinggi Al-Azhar di Mesir dan lulusannya dapat meneruskan ke perguruan tinggi tersebut.
Bila ditinjau ulang siapa yang menerapkan sistim modern dan dari mana sistim itu diambil, karena berdasarkan sejarah yang diketahui yang mempunyai sistim modern dan pelajaran umum di zaman kolonial hanyalah Belanda. Apakah Gontor mengadopsi sistim Belanda.? Ternyata tidak, begitu kata kyai Syukri Zarkasy. Karena sistim yang ia gunakan berasal dari pengalaman beliau mondok di pondok pesantren Thawalib dan pengalaman beliau bertanya kepada orang Arab dan Mesir tentang pendidikan. Lalu beliau mencoba menerapkan modernisasi sistim kelembagaan Islam melalui pesantren.[7]

Oleh: aan


[1] Nurcholish Madjid, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 70.
[2] Ibid, h. 71
[3] Pada zaman kolonial hanya Belanda yang mengembangkan ilmu-ilmu umum.
[4] Amin Haedari, Transformasi Pesantren (Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan dan Sosial)(Jakarta: Lekdis & Media Nusantara), h. 11.
[5] Suthon Masyhud dan Moh. Kusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren (Jakarata: DIVA PUSTAKA, 2005), h. vii-x.
[6] Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005). h. 9.
[7] Ibid, h. 11.

Kamis, 11 Juni 2009

Problematika Pajak dan Zakat di Indonesia

Pajak dan Zakat merupakan instrumen negara yang diharapkan dapat membantu pertumbuhan ekonomi dengan baik. Negara yang masih menjunjung tinggi nilai – nilai Islam dengan landasan Al-qur’an dan Al-hadits sangat tepat sebagai wadah untuk menerapkannya. Lain halnya dengan negara – negara barat, pemikiran sekuler mereka akan menjadi alasan mengapa kedua instrumen ini tidak dapat disandingkan.

Walaupun demikian, salah satu sistem ekonomi yang mereka terapkan melalui pajak tanpa zakat merupakan sistem yang dianut oleh para pemimpin Islam sejak zaman Rasulullah, Khlafaur Rasyidin, Tabi,in dan para Tabi’ tabi’in disamping mengedepankan sistem zakat. Tetapi, mengapa kondisi mereka malah lebih maju daripada negara – negara yang menerapkan sistem pajak dan zakat? Apakah sistem zakat merupakan penghalang bagi pajak, yang tidak mengkonsentrasikan pendapatan pada satu lembaga keuangan? Dan bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia untuk mensiasitinya sejauh masalah yang menimpa Negara ini?

Secara rasional, Negara yang menerapkan sistem pajak dan zakat sekaligus akan memperoleh pendapatan surplus daripada negara yang hanya menerapkan sistem pajak saja. Hal ini dilihat dari pemungutannya yang bersifat ganda (double). Tetapi, jarang sekali negara yang memliki masyarakat yang berkeyakinan pada satu keyakinan secara universal bahkan kalau boleh dikatakan tidak ada. Maka kondisi semacam inilah yang menyulitkan negara –negara yang bukan atas azas Islam menerapkan langsung kedua sistem ini dalam satu kedaulatan.

Dari sudut pandang umum, Indonesia termasuk salah satu negara yang tidak berazaskan Islam melainkan menganut azas pancasila. Tetapi, keberadaan Islam di Indonesia merupakan tolak ukur refleksi roh Islam sehingga dapat disimpulkan esensi dari jiwa, kepribadian, pandangan hidup bagian terbesar bangsa Indonesia yang notabanenya memeluk agama Islam merupakan wujud dari sebuah pengamalan.

            Merujuk pada UU pajak dan zakat  38 Tahun 1999 dan 17 thn 2000 tentang Pengelolaan Zakat merupakan bentuk pengelolaan yang efisiensi dan afektifitas untuk mengimplamentasikan kesejahteraan dan keadilan.

            Menurut hemat penulis, pemungutan pajak dan zakat dalam UU no 38 Tahun 1999 dan 17 tahun 2000 seakan memberi dampak negatif terhadap kalangan minoritas yang berada dijurang kemiskinan khususnya pada zakat. Alasan ini menggambarkan sebuah pendapat Ulil Abshar abdalla yang mengatakan bahwa  semangat zakat hanya sebagai ritualisasi berlebihan sehingga kedudukannya sebagai ritual biasa seperti shalat dan haji, tanpa di landasi ruh untuk memberdayakan orang – orang yang tertindas. Bukan tidak didasari alasan, pembayaran pajak yang dikalkulasikan oleh pemerintah atas zakat yang dikeluarkan merupakan interpretasi yang menganak emaskan satu pihak karena wajib pajak yang tidak wajib membayar zakat mengeluarkan sebagian penghasilannya menurut ketentuan hukum pajak.

            Untuk merealisasikan pendapat Masdar F Mas’udi bahwa kedudukan zakat sama dengan pajak  di butuhkan suatu instansi untuk mengelola setiap sumber pajak dan zakat dengan seadil – adilnya tanpa kekerasan walaupun terdapat unsur paksaan didalamnya. Keberadaan zakat dalam negara Indonesia akan dapat memicu solidaritas dan kesadaran masyarakat untuk melaksanakan kewajban yang awalnya merupakan perintah Allah. Selain itu, zakat juga diharapkan dapat memberikan kontribusi atas pajak sebagai kewajiban warga negara yang dilegitimasi oleh pemerintah kedalam undang – undang. Atas dasar kesejahteraan umat melalui redistribution of income maka persamaan zakat dan pajak bisa dibenarkan walaupun secara kontraprestatif zakat untuk kebahagian di dunia dan akhirat sedangkan pajak hanya di dunia yang sama – sama dirasakan secara tidak langsung.

Interpretasi anak emas atau lebih riil dengan istilah kesenjangan ( gap ) menunujukan pengeluaran pemerintah yang tidak merata terhadap golongan – golongan yang berhak,dapat disimpulkan dari hasil pembayaran pajak dan zakat secara UU no 38 tahun 1999 dan 17 tahun 2000  ( yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang didirikan atau disahkan oleh Pemerintah) bukan merupakan objek pajak bagi si penerima yang  bukan pemeluk Islam serta zakat atas penghasilan wajib pajak pemeluk Islam dikurangkan dari penghsilan kena pajak.

            Denagan adanya ketetapan ini, maka kemiskinan semakin merajalela di negeri ini karena tidak adanya solusi kedua dalam kebijakan – kebijakan yang telah dikeluarkan yaitu peningkatan kesejahteraan dangan ruh keadialan sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

            Sebagai negara yang memiliki roh Islam yang mengikuti Sunnatain, hendaklah mengambil Ibrah dari yang dipraktekaan oleh Rasulullah di masa beliau menjadi seorang pemimpin. Beliau tidak pernah membedakan – bedakan satu kaum dengan kaum yang lain, sehinga pada suatu saat orang yahudi pernah datang ke rumahnya dengan berpakaian kumuh untuk meminta uluran tangan Beliau. Tapi pada saat itu, Beliau tidak memiliki sesuatu yang dapat membantu orang yahudi tersebut, kemudian Rasul memerintahkannya untuk pergi ke rumah anaknya Fatimah Az-Zahra, yang akhirnya orang yahudi tersebut mendapatkan apa yang ia butuhkan dari anak seorang Rasulullah.

            Dari kisah singkat Rasulullah ini mencerminkan sifat kearifan Beliau yang tidak memandang perbedaan. Jika pemerintah menerapkan praktek ini bukan tidak mungkin nilai –nilai keadilan akan menjadi prioritas utama dalam membangun masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera.

            Keadilan ini mungkin dapat diimplamentasikan secara selektivitas dan simultan. Selektivitas dan simultan dalam artian kemampuan mendatangkan keselarasan dalam masyarakat yang diharapkan tidak bertolak belakang dengan keputusan yang telah ada dan dilakukan dalam waktu yang sama.

            Dalam pajak dan zakat seharusnya dikakukan juga sistem timbal balik yang merupakan unsur utama menghilangkan kecemburuan sosil. Pengeluaran pajak yang tidak memandang perbedaan, seharusnya direalisasikan juga dalam pengeluaaran zakat. Zakat yang dibayar oleh ummat Islam adalah sebagai pengurang dalam pembayaran pajak, sedangkan untuk hak yang mereka peroleh dari penyaluran hasil pajak dan zakat, yang sebelumnya pajak juga dipungut dari non muslim yang hanya mendapat bagian dari pajak saja. Hal ini tentu menjauhkan negara ini dari ruh keadilan dan untuk mewujudkan keadilan tersebut hasil dari zakat juga harus diberikan kepada mereka dengan catatan dari kalangan fakir dan miskin.

            Menegaskan Pendapat penulis tentang UU Pajak dan Zakat no 38/1999 17/2000, Al-Maududi seorang ulama yang berasal dari India mengatakan salah satu kewajiban utama bagi pemerintah adalah memelihara semua orang miskin dan orang yang tak berdaya. Nah, disinilah perlunya peran pemerintah dalam setiap pemungutannya untuk memperlancar pembayaran atas kewajiban warganya melalui pajak dan zakat.

            Jika menela’ah dari kisah Rasul yang telah dikemukakan diatas, hubungannya dengan pembagian zakat terhadap non muslim yang fakir dan miskin dapat dikatakan hanya sebagai shadaqah yang berimplikasi tentang pemberian sesuatu diluar zakat atau memberikan benda tanpa ada tukaran dan bayaran.

Mengutip dari pendapat Mawardi yang mengatakan sedekah itu zakat dan zakat itu sedekah sangatlah tepat disuarakan apabila bertujuan untuk menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan ummat dengan tidak memandang bulu seperti yang diteladani Rasulullah SAW.  Walaupn pemahaman umum muslim atau ulama fiqh Indonesia yang sangat membedakan zakat dan shadaqah bukan berarti tidak ada perspektif lain tentang i’tikad yang terkandung didalamnya   saperti yang tekandung dalam Surat at-Taubah ayat 103 "Ambillah dari harta mereka shadaqah (zakat)." Mengutip pendapat Qardhawi, kata shadaqah dalam ayat ini dapat dismpulkan sedekah tidak hanya berarti pemberian sesuatu kepada pengemis dan peminta – minta. Tetapi, pendapat ini tidak dikemukakan beliau dengan dalil yang jelas dan logis untuk lafal ini,mengingat bagaimana sebenarnya pengertian satu kata dalam bahasa arab pada zaman qur’an turun. Kata shadaqah sesungguhnya berasal dari kata shidq yang berarti benar.

Seorang ulama besar yang lebih dikenal dengan Ibn Arabi memiliki pendapat yang sangat berharga tentang mengapa zakat dinamakan shadaqah. Kata Shadaqah yang berasal dari kata shidq yaitu benar dalam hubungan dengan sejalannya perbuatan dan ucapan serta keyakinan. Dan dari setiap huruf beliau memaknainya “terwujudnya sesuatu oleh sesuatu atau membantu terwujudnya sesuatu itu.

 Menurut penulis, shadaqah adalah ungkapan kejujuran atas sikap seserang  dalam mestabilkan kesejahteraan orang – orang disekelilingnya serta mengigginkan masyarakat yang jauh dari kemiskinan dengan mengaplikasikan nilai - nilai keadilan sehingga tidak menimbulkan persepsi negatif yang beranggapan bahwa pmerintah hanya memberikan kesejahteraan terhadap satu pihak saja, disamping itu akan mewujudkan kelancaran atas pendapatan pemerintah melalui sistem fiskal ini.

Selain itu, disamping pendapat Ibnu Arabi, Direktur pos keadilan ummat Naharus Surur berpendapat Shodaqoh adalah ungkapan kejujuran (shidq) iman seseorang. Oleh karena itu Allah swt menggabungkan antara orang yang memberi harta dijalan Allah dengan orang yang membenarkan adanya pahala yang terbaik. Antara yang bakhil dengan orang yang mendustakan. Disebutkan dalam surat Al-Lail ayat 5-10 artinya: "Adapun orang yang memberikan (hartanya dijalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami menyiapkan baginya (jalan) yang sukar". Oleh: Antonioli Banderas Pjt